Social Icons

22 Oktober 2012

STRATEGI DAN KEKUATAN MARITIM





PENDAHULUAN

Dua pertiga dari permukaan bumi berupa lautan,  dan lebih dari 150 negara yang ada di dunia adalah negara pantai dan atau negara kepulauan.    Hal ini memberikan pemahaman atas suatu fakta,  bahwa kehidupan manusia di dunia baik menyangkut kesejahteraan dan keamanan,  dan dalam hubungannya antar bangsa-bangsa di dunia,  tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kelautan atau lingkungan maritim.
Oleh karenanya,  tujuan nasional sebagian besar bangsa-bangsa di dunia,  yang secara spesifik dijabarkan oleh masing-masing negara ke dalam tujuan politik,  ekonomi dan militer,  akan sangat dipengaruhi oleh fenomena kemaritiman dunia.

Fenomena kemaritiman dunia dari waktu ke waktu selalu berubah seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.   Hal ini menimbulkan implikasi yang luas bagi bangsa-bangsa di dunia menyangkut upayanya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya,  dan keamanan wilayah teritorialnya.    Lebih-lebih lagi bagi negara pantai atau negara kepulauan seperti Indonesia,  segala upaya yang dilakukan akan bermuara pada upaya untuk memperkuat Kekuatan Maritimnya,  dalam rangka melaksanakan Strategi Maritim untuk Pertahanan dan Keamanan Negara.

Memperkuat Kekuatan Maritim bagi bangsa Indonesia merupakan amanat dari Undang-Undang,  yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.    Undang-Undang No.3 / 2002 tersebut secara jelas mengamanatkan perubahan mendasar terhadap doktrin maupun konsepsi dasar pertahanan negara Indonesia.    Pasal 3 ayat 2 UU. No.3 / 2002 menyatakan,  bahwa Pertahanan Negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografi Indonesia sebagai negara kepulauan.    Hal itu berarti,  bahwa strategi apapun yang dilakukan untuk melakukan upaya Pertahanan dan Keamanan negara,  harus bertumpu kepada Strategi Maritim.






KEKUATAN MARITIM



Kekuatan Maritim atau Maritime Power pada dasarnya adalah kekuatan nasional dari suatu bangsa yang digunakan sebagai sarana untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di laut,  dalam rangka menjamin dan melindungi kepentingan nasional bangsa.   Kata  "  Maritim  "  mengandung arti integrasi atau gabungan dari banyak kekuatan dan menunjukkan lingkungan alam dimana kekuatan-kekuatan itu dibangun dan dikerahkan.   Kata Maritim tidak menunjukkan satu atau dua institusi saja,  melainkan banyak institusi yang bernaung di bawah suatu negara maritim.   Berdasarkan hal tersebut,  suatu skuadron pesawat tempur dan suatu brigade infanteri bisa menjadi komponen dari kekuatan maritim.  

Fakta sejarah menunjukkan,  bahwa kekuatan pesawat tempur sangat diperlukan dalam operasi di laut baik waktu keadaan damai,  terlebih dalam situasi perang.    Demikian juga,  suatu kegiatan operasi di laut tidak terlepas keterkaitannya dengan kegiatan operasi di darat,  demikian pula sebaliknya.


Rear Admiral  Alfred Thayer Mahan dalam bukunya yang terkenal  :  "  The Influence Of Sea              PowerUpon History 1660  -  1783  "  yang terbit pada tahun 1890 menjelaskan teorinya dengan menggunakan contoh-contoh dari perang antara Inggris vs Belanda pada akhir abad-17 dan perang Inggris vs Perancis pada abad-18.    Mahan mencatat,  bahwa kejadian-kejadian di laut sangat mempengaruhi kejadian-kejadian di darat.   Namun sering kali keputusan-keputusan politik yang diambil berdasarkan kejadian-kejadian di darat,  jarang mempertimbangkan aspek kemaritiman.

Alfred Thayer Mahan menggaris-bawahi,   bahwa Sea Power atau Kekuatan Laut merupakan unsur yang sangat penting bagi kejayaan suatu bangsa.   Apa yang dimaksud dengan Sea Power atau Kekuatan Laut, pada dasarnya identik dengan  Kekuatan Mariim atau Maritime Power.   Apabila kekuatan-kekuatan itu diberdayakan,  maka akan meningkatkan Kesejahteraan dan Keamanan Negara.  Sebaliknya bila kekuatan-kekuatan itu kurang diberdayakan,  akan berakibat sangat merugikan negara atau meruntuhkan bangsa tersebut.   A.T. Mahan menyatakan,  bahwa Kekuatan Laut adalah  :  "  All that tends to make a people great upon the sea or by sea  ".

 

KOMPONEN KEKUATAN MARITIM

Komponen Kekuatan Maritim
dari suatu bangsa menurut A.T. Mahan,  ada enam  yaitu  :

1.   Posisi Geografi.
2.   Bentuk Fisik Wilayah.
3.   Luas  Wilayah.
4.   Jumlah Penduduk.
5.   Watak / Karakter Rakyat.
6.   Sikap Pemerintah.

Enam komponen Kekuatan Maritim yang dikemukakan oleh A.T.Mahan pada abad-19 tersebut sampai sekarang masih digunakan sebagai acuan,  namun dengan pemahaman dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sejak pertengahan abad-20.   Oleh karenanya faktor-faktor dominan lainnya seperti tingkat penguasaan Iptek,  Sumber Daya Manusia,  Sumber Daya Alam,  dan perkembangan Industri & Jasa Maritim yang merupakan penggerak dari pembangunan kekuatan maritim,   harus dipertimbangkan pengaruhnya.


Selain A.T Mahan,  ada beberapa teori lainnya tentang komponen / elemen-elemen Kekuatan Maritim.   Antara lain dikemukakan oleh Admiral Sir Herbert Richmond dari Royal Navy / negara Inggris  (  1871 - 1946 ).    Sir Herbert Richmond berpendapat bahwa elemen-elemen Kekuatan Maritim yang penting ada tiga,  yaitu  :

1.   Armada Niaga.

2.   Armada Tempur.

3.   Pangkalan Di Seberang Lautan.


Sedangkan Admiral Wegener dari Jerman berpendapat bahwa untuk membangun Kekuatan Maritim yang kuat diperlukan  :

1.   Armada.
2.   Posisi / Pangkalan.

3.   Mentalitas Bangsa Berorientasi Maritim.


Dari beberapa teori tentang Kekuatan Maritim tersebut di atas,  dapat disusun suatu Anatomi Kekuatan Maritim  :


1.   Sumber Kekuatan  :   Geografi,  Sumber Daya,  Penguasaan Iptek,  Sikap Pemerintah,  dan Karakter Bangsa.

2.   Elemen   :   Armada Niaga,  Armada Tempur,  Armada Perikanan,  Armada Pemerintah ( Coast Guard, dsbnya ),  Pesawat Udara Tempur dan Non Tempur,  Pangkalan termasuk Pangkalan Udara,  serta Pelabuhan dan fasillitasnya.

3.  Wujud Holistik  :   Kekuatan Maritim atau Maritime Power / Sea Power.


KEMAMPUAN MARITIM

Kemampuan Maritim atau Maritime Capability dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu kemampuan ekonomi,  politik dan militer dari suatu bangsa,  yang dapat diwujudkan untuk mempengaruhi menggunaan laut untuk kepentingan sendiri  (  Use the Sea ),  serta mencegah penggunaan laut oleh pihak-pihak lain yang merugikan pihak sendiri  (  Sea Denial  ).   Pada dasarnya Kemampuan Maritim dari suatu bangsa selalu digunakan untuk Pengendalian Laut  (  Sea Control  ) demi untuk kepentingan ekonomi dan kelangsungan hidup bangsa.

Sedangkan Maritime Capability dalam pengertian yang lebih spesifik,  adalah suatu Kemampuan Militer dari suatu bangsa yang digunakan untuk tugas-tugas pertahanan di laut,  yakni dalam rangka menegakkan kedaulatan dan hukum di laut yurisdiksinya.   Maritime Capability dalam pengertian yang lebih spesifik ini,  harus dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa di darat,  baik melalui kehadiran dari suatu kekuatan di laut untuk tugas-tugas patroli perbatasan,  operasi bantuan,  proyeksi kekuatan,  maupun dalam bentuknya sebagai komponen dari operasi gabungan.

Dewasa ini kemampuan proyeksi kekuatan maupun untuk tugas-tugas operasi bantuan semakin berkembang karena adanya kombinasi dengan pesawat udara berbasis di laut.   Dan ditambah dengan adanya penggunaan misil dari kapal ke sasaran di darat,  semakin meningkatkan teknik dan taktik dalam pelaksanaan operasi amfibi.


STRATEGI MARITIM ZAMAN KAPAL GALLEY

Kapal Galley adalah sejenis kapal layar besar yang dilengkapi dengan dayung.   Istilah Kapal Galley ini digunakan untuk menyebut kapal atau perahu layar yang di gunakan pada zaman Sebelum Masehi.

Strategi Maritim pada zaman Sebelum Masehi tidak banyak diketahui,  namun berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ada bisa memberikan suatu gambaran,  bahwa Kekuatan Maritim pada zaman Sebelum Masehi juga memainkan peranan sangat penting dalam hubungan antar bangsa-bangsa di dunia.


Relief Kapal Layar di Candi Borobudur


Dari fakta sejarah diketahui,  kerajaan Romawi yang berpusat di daratan Eropa Selatan / Laut Tengah memiliki kekuasaan sampai ke Pulau Britania /  Inggris.   Negara Inggris bahkan pernah dijajah oleh bangsa Romawi selama kurang lebih empat abad,  mulai dari tahun  54 SM  sampai  abad-5 Masehi.   Hal itu menunjukkan bahwa kerajaan Romawi pada masa itu memiliki kekuatan maritim yang besar,  sehingga mampu menguasai jalan perdagangan lewat laut di kawasan Laut Tengah sampai kawasan Pulau Britania.

Salah satu peninggalan dari zaman Sebelum Masehi itu adalah Buku Sejarah karya Thucidides 460 - 404 BC ),  yakni  "  History Of The Peleponnesian War  ".    Buku Sejarah ini menggambarkan terjadinya perang antara Athena melawan Liga Peloponesia yang dipimpin oleh Sparta. 

 Suatu hal yang menarik,  buku tersebut ditulis oleh salah satu tokoh pelaku sejarah itu sendiri  :  Thucidides,  yang pada waktu itu  memegang komando Armada Athena yang berpangkalan di Thasos.  Dalam pertempuran melawan Armada Liga Peloponesia,  Armada Athena yang dipimpin  Thucidides hancur dan kocar-kacir,  kapal komandonya bahkan tenggelam,  namun Thucidides berhasil menyelamatkan diri.

Athena dan Sparta adalah dua negara kota di  Yunani,  disamping beberapa negara kota  lainnya.   Sejak sebelum pecah perang Peloponesia,  dua kerajaan ini saling bersaing dalam perdagangan melalui laut,  dan dalam persaingan tersebut Sparta mendapat dukungan dari Kekaisaran Persia.    

Namun Athena lebih dulu membangun Kekuatan Maritimnya,  sehingga kerajaan Athena berkembang menjadi Kekaisaran yang disegani.   Sekitar tahun 480 SM Athena berperang melawan Persia,  dan berusaha melemahkan pengaruh Persia terhadap Yunani,  dibantu oleh sekutu-sekutunya di Yunani.

Hal tersebut menggerakkan Sparta untuk membangun Kekuatan Maritimnya,  mengingat dalam Perang Persia Sparta masih lemah dan tidak bisa berbuat banyak untuk membantu sekutu utamanya,  Persia.   

Kekaisaran Persia waktu itu pada masa kejayaannya dipimpin oleh Karesh Agung,  dan kemudian Darius Agung.   Kekaisaran Persia meliputi  wilayah yang sangat luas,  antara lain yang sekarang menjadi negara-negara :   Iran,  Irak,  Afghanistan,  Yordania,  Israel, Lebanon,  Suriah,  Asia Tengah,  Pakistan, Mesir dan ke Barat sampai Libya.    Sebagai Kekaisaran yang besar dan kuat,  Persia dipandang musuh oleh negara-negara kota Yunani,  terutama Athena yang berusaha menyainginya.  

Dan musuh Athena,   yakni Sparta akhirnya berhasil membangun Kekuatan Maritimnya atas dukungan Kekaisaran Persia,  serta berhasil merangkul beberapa negara kota lainnya menjadi sekutunya untuk melawan Athena.

Perang Peloponesia berakhir pada tahun 404 SM,  berakibat kehancuran angkatan perang Athena dan kemenangan di pihak Liga Peloponesia,  atau Sparta.  Sparta menjadi negara penguasa tanah Yunani.   Sejak itu Athena tidak pernah bangkit lagi,  dan pengaruh Kekaisaran Persia semakin kuat di daratan Eropa..

Dalam sejarah perang Peleponesia banyak hal-hal penting yang terungkap tentang Strategi Maritim yang digunakan pada masa itu.






Admiral Sir Reginald Custance,  Royal Navy / Inggris,  pada abad-19 menganalisis sejarah yang ditulis oleh Thucidides,  dan menyimpulkan :

1.     Athena pada masa itu merupakan kerajaan Maritim yang besar dan sangat mengandalkan Kekuatan Maritimnya,  termasuk dalam membangun kekuatan Angkatan Perangnya.
2.     Kekuatan Angkatan Laut Athena digunakan untuk perang di Darat,  bukan Kekuatan Pasukan Infanterinya.   Dengan kata lain,  Proyeksi Kekuatan yang dilaksanakan oleh Athena sepenuhnya dilakukan oleh pasukan Angkatan Lautnya.
3.    Kesalahan penggunaan Sumber Daya Kekuatan telah menjerumuskan Athena dalam berbagai kegagalan di pertempuran.
4.    Strategi Perang Laut yang digunakan oleh Athena adalah Strategi Perang Darat.


Menurut pendapat Sir Reginald Custance,   Strategi Maritim Zaman Kapal Galley antara lain  :

1.   Menduduki dan menguasai daratan musuh melalui Proyeksi Kekuatan.

2.   Mempertahankan daratan sendiri dari serangan musuh.

3.   Memutuskan jalur perdagangan musuh.

4.   Merampas,  Merusak,  dan Menenggelamkan kapal lawan.


Bentuk  Strategi Maritim yang digunakan tersebut pada dasarnya merupakan bentuk dari  penerapan   Penguasaan Laut ‘  atau    Command Of The Sea  ,  dan    Mencegah Penggunaan Laut oleh Musuh ‘  atau    Sea Denial  ‘.



STRATEGI MARITIM ZAMAN KAPAL LAYAR 



Strategi Maritim Zaman Kapal Layar,  yakni Strategi Maritim setelah tahun Masehi,  dan sebelum era Kapal Motor.    Tentang hal ini terkait dengan masa Sebelum Masehi,  dan bisa dicermati dari sejarah bangsa-bangsa pelaut misalnya Romawi dan Viking.   



Diketahui bahwa menjelang tahun Masehi,  tepatnya pada tahun 54 Sebelum Masehi,  kerajaan Romawi menginvasi kepulauan Britania dan berhasil menaklukkan dan menjajah Inggris.    Pada masa itu bisa dikatakan bahwa perdagangan maupun peradaban di Eropa dikuasai oleh Romawi.   Lebih dari empat abad lamanya Inggris dibawah kekuasaan kerajaan Romawi,  yaitu sampai abad-5 Masehi.  Oleh karena itu tidak mengherankan bila peradaban Inggris pada awal abad-abad Masehi banyak dipengaruhi oleh peradaban Romawi,  termasuk visi kemaritimannya.


Selain pernah ditaklukkan oleh Romawi,  Inggris pernah pula ditaklukkan bangsa Viking  (  Norwegia ),  dan dijajah lebih kurang dua abad lamanya.   Perlu diketahui bahwa  sekitar abad 8 – 9  Masehi kerajaan bangsa Viking merupakan kerajaan maritim terbesar di Eropa.    Dan akibat dari pengaruh peradaban Romawi dan Viking,  sejak abad-11 negara Inggris berkembang menjadi Negara Maritim yang besar.  



Pada masa yang sama Negara-negara di Eropa lainnya seperti Perancis,  Belanda,  Spanyol,  dan Portugis juga mengembangkan Kekuatan Maritimnya.    Oleh karenanya sejak saat itu dunia kemaritiman di Eropa banyak diwarnai dengan sengketa dan peperangan laut.    Sumber permasalahan yang dipersengketakan tidak berbeda dengan persengketaan yang terjadi pada era Kapal Galley  :   persaingan perdaganganperebutan pengaruh,  dan atau perebutan daerah koloni.  Bahkan ada yang bermusuhan dan selama satu abad atau 100 tahun berperang  (  The Hundred Years War ).




Perang Salib.  

   
Seiring dengan surutnya Romawi dan Viking,  kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah berkembang pesat.   Pada abad-11 Jerusalem jatuh ke tangan kesultanan Mesir,  dan Pusat Peradaban beralih ke Timur Tengah.  Pada masa inilah negara Inggris mengirim ekspedisi Kekuatan Lautnya berkali-kali untuk merebut   Tanah Suci Jerusalem  “,  dikenal dalam sejarah sebagai Perang Salib I, II,  dan III.  

Semua ekspedisi Kekuatan Lautnya itu dihancurkan oleh Armada Mesir yang waktu itu telah memiliki Teknologi Perang lebih tinggi,  yaitu penggunaan meriam / kanon yang bermesiu.    Akibat dari kekalahan dalam Perang Salib itu telah memperkaya dan memperluas pengalaman Inggris,  dan negara-negara di Eropa pada umumnya,  untuk “ alih ilmu pengetahuan dan teknologi “ dari Timur Tengah,  antara lain soal pembuatan kanon bermesiu dan pembuatan kertas.

Perang Salib pada hakikatnya bukan perang antar agama.    Hal ini sesuai diktum Clausewitz tentang Perang,  bahwa Perang adalah kelanjutan Politik dengan Alat dan Cara-cara yang lain.   Dalam Perang Salib sentimen agama dipolitisir.   Seperti telah ditulis di depan,   perang di zaman kapal layar penyebabnya tidak jauh berbeda dengan persengketaan yang terjadi pada era Kapal Galley  :   persaingan perdagangan,  perebutan pengaruh,  dan atau perebutan daerah koloni.


Perang Seratus Tahun  The Hundred Years War ),      


Pada pertengahan abad-14 sampai pertengahan abad-15,  negara Inggris terlibat dalam peperangan melawan Perancis,  dikenal sebagai  “  Perang Seratus Tahun  “.     Selama seratus tahun atau satu abad berperang,  berbagai pertempuran laut sering terjadi antara ke dua pihak,  diselingi dengan perdamaian dan gencatan senjata,  yang lalu berkobar lagi diawali dengan pengepungan dan pengrusakan armada,  dan kemenangan serta kekalahan silih berganti antara ke duanya.


Sumber persengketaan,  selain persaingan dalam perdagangan dan perebutan pengaruh di kawasan Eropa,  juga menyangkut perebutan daerah Aquitaine yang terletak di wilayah Barat Daya negara Perancis yang diklaim oleh Inggris sebagai daerah dalam kekuasaannya.



Setelah satu abad berperang,  pada akhirnya  di tahun 1453 peperangan dimenangkan oleh Perancis.  Dampak dari kekalahan dalam Perang Seratus Tahun,  kembali negara Inggris memperoleh manfaat yang besar

Di masa sebelum perang,  penggunaan bahasa Perancis menjadi kebanggaan bagi kaum terpelajar dan kalangan elite di Eropa,  termasuk di negara Inggris sendiri.   Sedangkan bahasa Inggris hanya digunakan sebagai bahasa ke dua.   Namun setelah Perang Seratus Tahun,  dan disebabkan kebencian yang mendalam terhadap Perancis,  maka  penggunaan bahasa Inggris menjadi terangkat.   Kalangan elite Inggris tidak mau lagi menggunakan bahasa Perancis.   Sejak masa itu maka kesusastraan Inggris maju dan berkembang,  serta meluas ke seluruh daratan Eropa,   ke daerah-daerah koloninya,  dan ke seluruh dunia

 




 


Ekspedisi Raja Philip,  Spanyol- 1588.    

Pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth  I  di abad-16,  Inggris sudah berkembang menjadi negara maritim yang disegani di Eropa.     Namun Kekuatan Maritimnya masih kalah dibandingkan dengan negara Spanyol,  yang ketika itu di bawah Raja Philip. 

Dan dalam persaingan perdagangan,  segala cara ditempuh untuk mengalahkan saingannya.    Di masa itu belum ada aturan baku dalam dunia pelayaran.   Dua kapal yang masing-masing berasal dari dua negara yang bermusuhan,  dan bertemu di tengah laut,  bisa terjadi pertempuran,  saling merampas,  membajak,  atau merusak.    Dikenal nama-nama seperti Francis Drake dan kawan-kawannya.   Mereka sering membajak kapal-kapal dagang Spanyol,  terutama yang mengangkut emas dan perak,  di Samudera Atlantik dan di laut sekitar Amerika Selatan.  



Sebagian hasilnya ternyata disetorkan ke kas kerajaan,   dan Ratu Elizabeth I terkesan mendukung kegiatan mereka itu.     Francis Drake dan kawan-kawannya bahkan mendapat anugerah gelar kebangsawanan.    Hal ini menimbulkan kemarahan raja Spanyol,  Philip.     Sehingga  Raja Philip langsung memerintahkan  kekuatan armada perangnya yang terdiri dari 131 kapal untuk menyerang dan menaklukkan Inggris.



Kekuatan armada Spanyol yang besar  tersebut dihadapi oleh armada Inggris yang lebih kecil.    Armada Inggris menerapkan strategi  “  fleet in being  “  atau  Armaga Siaga,  yaitu kapal-kapal bersiaga di pangkalan,  dan hanya  menyerang dalam kondisi yang menguntungkan.    Armada  tempur Inggris mendapat bantuan dari kapal-kapal bajak lautnya,    dan dengan berbagai taktik berusaha mencerai- beraikan formasi kapal-kapal lawannya.       Kapal-kapal Spanyol yang terpisah dari formasi induknya diserang oleh armada Inggris,  dirusak dan ditenggelamkan.


Pertempuran terjadi di Selat Channel selama 10 hari.   Armada Spanyol dibuat menjadi kocar-kacir,  dan banyak yang menghindari keganasan kapal-kapal bajak laut Inggris.     Sebagian kapal-kapal Spanyol  bermaksud kembali ke negerinya,  dan mereka memilih jalan memutar ke Utara mengitari kepulauan Britania.   Namun sebagian besar kapal-kapal Spanyol itu diserang badai di Laut Utara,  dan banyak yang tenggelam.         




Nama Francis Drake cukup dikenal dalam sejarah,  dia adalah pelaut yang gemar berpetualang.    Dan dalam route pelayarannya  Francis Drake sempat masuk ke perairan Nusantara,   bahkan singgah di Ternate dan diterima baik oleh Sultan Baabullah  (  1570 – 1584 ) di istana Gamalama.     



Pada saat itu Ternate  selesai memenangkan perang terhadap Portugis,  dan berhasil mengusir Portugis dari wilayahnya.    Dibawah pimpinan Sultan Baabullah,   kerajaan Ternate berkembang  dengan pesat.    Wilayah kekuasaannya meliputi kurang lebih 72 pulau di Maluku Utara,  kecuali Pulau Tidore.     Sultan Baabullah berhasil  menjadikan  Ternate sebagai  pelabuhan bebas ,  sehinga   banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang mancanegara.    



Sultan Baabullah  dikenal sebagai tokoh sejarah yang berhasil mengusir Portugis dari Maluku Utara.     Dia pula yang selama 5 tahun mengepung benteng Portugis di Ternate,  kemudian setelah orang-orang Portugis menjadi lemah,  mereka dibebaskan dan benteng itu dikuasai oleh sultan serta dijadikan istananya.    Selain mengusir Portugis,  Sultan Baabullah juga berhasil membatasi gerakan kapal-kapal Spanyol yang menjalin hubungan perdagangan dengan penguasa Tidore.


Nama dan istilah  strategi  "  Fleet In Being  "  digunakan pertama kali oleh Lord TorringtonKomandan Task Group Royal Navy di Selat Channel,  pada tahun 1690.     Namun dari sejarah perang laut diketahui,  bahwa strategi fleet in being atau Armada Siaga itu telah digunakan oleh Liga Peloponesia untuk menjebak armada Athena,  dalam Perang Peloponesia yang terjadi Sebelum Masehi.


Dan dalam sejarah Indonesia bisa dicermati,  bahwa fleet in being dilakukan pula oleh FatahilahFaletehan ) setelah berhasil menaklukkan Banten sekitar tahun 1526,    kemudian menggagalkan rencana Portugis dalam usahanya membangun benteng di Sunda Kelapa.   Tiga kali Portugis memberangkatkan ekspedisi armadanya dari Malaka,  namun ketiga ekspedisi armada Portugis itu berhasil digagalkan oleh Fatahilah.

Strategi itu pula yang kemungkinan besar dipraktekkan oleh Sultan Babullah dalam memenangkan peperangan melawan armada Portugis di Maluku Utara,  mengingat bahwa fleet in being atau Armada Siaga hanya akan efektif digunakan dalam peperangan laut bagi kekuatan kecil melawan kekuatan lebih besar,  di perairan laut yang kondisi geografinya banyak pulau,  selat-selat sempit,  dan perairan yang banyak karangnya.

                                             
Strategi fleet in being menghindari perang frontal yang bisa menghancurkan kekuatan inti dari armada.   Kehancuran armada sekutu dalam Perang di Laut Jawa,  27 Februari 1942,  adalah karena menghadang lawan secara frontal dan mengabaikan doktrin fleet in being.

Ekspedisi Pati Unus & Sultan Agung.  




Dalam sejarah diketahui bahwa awal penjajahan bangsa asing terhadap Nusantara banyak diwarnai dengan berbagai pertempuran laut,  sebagai bentuk perlawanan dari bangsa pelaut Nusantara.   Beberapa negara Eropa yang  berniaga sampai kawasan Nusantara :   Portugis,   Spanyol,  Belanda,  dan Inggris.     Niatnya semula adalah berdagang,  yaitu terutama mencari rempah-rempah dan lada ,  yang banyak dihasilkan di Maluku dan juga Pulau Jawa,   sebagai komuditi yang banyak memberikan keuntungan di pasaran Eropa.    



Niat berdagang tersebut berkembang menjadi keinginan untuk menguasai dan monopoli perdagangan.    Strategi yang mereka terapkan adalah praktek yang biasa dilakukan di Eropa saat itu  :   kerjasama dengan penguasa setempat untuk mendirikan benteng dan pangkalan bagi kapal-kapal niaganya.   Dan jika kerjasama sulit diwujudkan,  mereka tidak segan-segan untuk menyerang dan merebut pangkalan penting,  serta menghancurkan perdagangan lawan.    Contohnya,   pada tahun 1511 Portugis menyerang dan merebut Malaka yang waktu itu merupakan Pusat Perdagangan di kawasan  Asia Tenggara.



Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menimbulkan perlawanan dari kerajaan-kerajaan Nusantara,  antara lain  :   Kampar,  Pasai dan Demak.    Penguasa kesultanan Demak sempat dua kali mengirim ekspedisi  untuk merebut kembali Malaka.    Ekspedisi pertama pada tahun 1511,  dan ke dua tahun 1512,  dengan mengerahkan sebanyak 12.000 prajurit angkatan laut,   dipimpin oleh oleh  Pate Unus.     Ekspedisi Pate Unus ke Malaka tersebut merupakan satu bentuk dari Strategi Maritim  “  Proyeksi Kekuatan Maritim  “,  atau   “  Maritime Power Projection  “.      Pasukan pimpinan Pate Unus tidak berhasil merebut kembali Malaka,  salah satu sebabnya karena bantuan yang semula diharapkan datang dari Melayu,  ternyata tidak muncul,  kemungkinan sudah berhasil dirangkul oleh pihak Portugis.



Strategi Proyeksi Kekuatan Maritim dilakukan pula oleh Sultan Agung ,  kerajaan Mataram,   dalam rangka memperluas kekuasaannya ketika berusaha menaklukkan Surabaya (  1622 – 1625 ).    Sultan Agung tidak langsung menyerang Surabaya,  melainkan berusaha menaklukkan terlebih dulu pangkalan-pangkalan pendukung perdagangan Surabaya  :   Sukadana dan Madura.



Ekspedisi ke Sukadana dikirim pada tahun 1622 dengan kekuatan 70 kapal dan 2000 prajurit sedangkan ekspedisi ke Madura dilakukan pada tahun 1624.



Setelah Sukadana dan Madura berhasil dikuasai oleh Mataram,  ternyata  Surabaya belum bisa ditaklukkan,  karena Surabaya masih aman-aman saja pada jalur perdagangannya dengan Maluku dan Makasar.



Surabaya baru berhasil ditaklukkan oleh Sultan Agung pada tahun 1625,  setelah Sultan Agung menggabungkan strategi perang laut dengan perang darat,  yaitu mengepung Surabaya dan memutuskan hubungannya dengan daerah pedalaman.



Seni Perang Darat yang yang dimainkan oleh Sultan Agung,  dengan cara membendung Sungai Brantas dan membelokkan aliran sungai ke jurusan lain,  untuk menghentikan aliran sungai ke Surabaya.


Strategi Maritim yang diterapkan oleh Sultan Agung merupakan contoh yang baik dari penerapan doktrin maritim sesuai prinsip-prinsip Strategi Maritim yang diajarkan oleh  Sir Julian Corbett,  seorang sejarawan Inggris / Royal Navy  :


“  By maritime strategy we mean the principles  which govern  a war in which the sea is a substantial factors.   Naval Strategy is but that part of it which determines the movements of the fleet when maritime strategy has determined.



What part the fleet must play in relation to the action of the land forces;  for it scarcely needs saying that it is almost impossible that a war can be decided by Naval action alone.



The paramount concern,  then, of Maritime Strategy is to determine the mutual relations of your Army and Navy  in  a plan of  War.    When this is done,  and not till then,  Naval Strategy can begin to work out the manner in which the fleet can best discharge the function assigned to it.   “   (  Sir Julian Stafford Corbett,  Some Principle of Maritime Strategy,   1911  ).


Ide-ide dan pemikiran Julian Corbet banyak dipelajari oleh para pemikir strategi di zaman modern / abad-20.    Dan yang menarik,  Julian Corbett  menekankan pentingnya  pembahasan soal-soal perang dan strategi secara ilmiah,   walaupun diakuinya hal itu agak sulit mengingat dalam prakteknya peristiwa-peristiwa  yang terjadi dalam perang mengalir sedemikian rupa,  dan sulit diprediksi secara matematis.   
Kelihatan bahwa ide-ide Julian Corbett banyak dipengaruhi oleh ide-ide dalam buku “  On War  “ karya Clausewitz  dan  “  Art Of War ‘ karya Sun Tzu.  


Pengaruh atau pengembangan ide Clausewitz  nampak  jelas,  namun secara tersirat  sebenarnya Corbet banyak mengembangkan ide-ide  Sun Tzu,  walaupun di awal bukunya Corbett  menyebut  “  Art of War “  sebagai  tidak ilmiah.

“  For centuries men had written on the  '  Art of War  ',  but for want of a workingtheory their labours as a whole had been unscientific,  concerned for the most part with the discussion of passing fashions and the elaboration of platitudes  "  (   Julian Corbett,  Some Principle of Maritime Strategy,  1911 ).


Ide-ide yang dikembangkan oleh Julian Corbett,  antara lain  berkaitan dengan asas pertamanya tentang strategi maritim yang berkaitan dengan tujuan perang laut dan hasil yang diharapkan.   Semuanya mengarah kepada upaya untuk menjamin kepentingan vital pihak sendiri.   Corbett menekankan bahwa teori perang diperlukan sebagai pemersatu kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh negara,  di darat maupun di laut.  Hal ini juga tercantum dalam “ Art of War “,  bahwa ilmu perang harus selalu dipelajari karena menyangkut jatuh dan bangunnya negara,  dan bahwa keberhasilan perang sangat ditentukan oleh kondisi hubungan antara penguasa dan rakyatnya,  serta antara pimpinan pasukan dengan bawahannya.   
 

“    War is a matter of vital importance to the state;   the province of life or death;   the road to survival or ruin.   It is mandatory that is be thoroughly studied  “   (  Sun Tzu,  500 BC  ).


Corbett memperluas strategi maritim antara lain  dengan penjelasannya tentang kekhasan dari perang laut,  hubungan antara penguasaan laut dan pengendalian laut,  serta pembagian jenis-jenis pengendalian laut berdasarkan kategori /  situasi dan kondisinya.  Dari sisi ini terlihat bahwa Julian Corbett telah mempelajari karya Sun Tzu The Art of War,  dan Corbett berusaha ' mengilmiahkan ' diktum-diktum Sun Tzu tentang macam-macam daerah pertempuran ( battle field ) yang masing-masing memiliki karakter tersendiri dan sangat mempengaruhi jalannya pertempuran. 

Ide-ide Julian Corbet termasuk yang membidani lahirnya Doktrin Maritim negara Inggris. Di bawah ini disampaikan kutipan beberapa pernyataan dalam British Maritime Doctrine, edisi bulan Agustus 2011.




JDP 0-10: British Maritime Doctrine, August 2011

Maritime power is:

The ability to project power at sea and from the sea to influence the behaviour of people or the course of events

Naval Presence :

Our presence in the first place: engagement without entanglement may be a sufficient demonstration of intent and deterrence to prevent the need for final engagement



COMPONENTS OF BRITISH MARITIME FIGHTING POWER

Fighting Power is the ability to fight and achieve success in operations. It is made up of an essential mix of 3 inter-related components:

a.  Conceptual : the thought process providing the intellectual basis and theoretical justification for the provision and employment of armed forces.

b.  Moral : the ability to get people to fight, individually and collectively.

c. Physical: the means to fight – balanced, agile maritime forces at readiness and with warfighting at their core


THE MORAL COMPONENT – THE WILL TO FIGHT AND WIN


The enduring spirit derived from our people’s loyalty to their ship, unit or team sustained by high professional standards and strong leadership, that gives us courage in adversity and the determination to fight and win.

You can build a new ship in 3 years but you can’t rebuild a reputation in under 300 years.

( Royal Navy Ethos )

                          
In the Falklands conflict, moral factor became a very determining power:                                 

THE GREATEST BRITISH MILITARY CAMPAIGN 
INDEPENDENTLY IN HISTORY



Although in the end the Argentinean fighter planes caused a great deal of victims and big loss to British, tens of them also became victims. Obviously, on paper, the Argentinean fighter planes were more superior that those possessed by British, however Argentine got no opportunity to demonstrate their superiority due to the factor of the abrupt changes in strategy and tactics. In another word, Argentine was not capable in utilizing the opportunity of its geographical advantageous factor.
   In addition, the moral advantageous factor was not materialized either as expected. It was true that the effort to seize back the Falklands for the Argentinean people became one of the national goals and died in “Islas Malvinas” was a heroic action. However, the public opinion upon the government administration of the Argentinean military junta was so bad in such a way, that from the moral point of view the Argentinean people gave less support.
   On the contrary for British, the moral factor was even built up and materialized and became a very determining power. The mobilization of British military power to Falklands at a distance of approximately 8000 miles from their homeland, including the execution of direct air raid “Black Buck Operation” classified as being too determined, was a very brave decision in a critical condition.
   This is in line with the Sub Tzu’s teaching, “In critical time, a troop leader shall act just like a man climbing a certain peak by using a ladder, and then kicking his ladder backward down. This was the thing that motivated the British combating spirit in Falklands, and brought them into a victory after a 74-day battle.

                                                              










 
Blogger Templates